DIALOG INTERAKTIF ANTARKITA
“UU TPKS: Sudah Sah, Apa Selanjutnya?
Moderator : Ona Mariani
Pemateri : 1. Prof. Nurul Ilmu Idrus, M.Sc., Ph.D (Rektor Universitas Muslim Maros)
2. Rosmiati Sain (Direktur LBH APIK Makassar)
3. Febrianto Syam, S.IP., M.IP (Dosen UIN Alauddin Makassar)
4. Veryanto Sitohang (Komnas Perempuan)
5. Achi Soleman (Kadis DPPPA Kota Makassar)
6. Arinda Widyani Putri (Komite Anti Kekerasan Seksual Unhas)
Bahan Diskusi
Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), regulasi yang baru-baru ini disahkan oleh DPR RI pada Selasa, 12 April 2022. Hadirnya UU ini berawal dari tuntutan masyarakat anti kekerasan terhadap tanggung jawab negara atas kekerasan seksual yang diderita oleh perempuan etnis Tionghoa. Meski sudah disahkan, nyatanya advokasi UU TPKS masih memiliki perjalanan panjang untuk bisa diimplementasikan. Adapun tahapannya, yakni pimpinan DPR mengirimkan naskah RUU TPKS ke Presiden paling lambat 7 hari, Presiden menandatangani naskah yang dikirim DPR paling lambat 30 hari, Menteri Hukum dan HAM mengumkan dalam lembaran negara disertai dengan nomor UU, dan terakhir Pemerintah membuat aturan pelaksanaan
Berdasarkan data dari Komnas Perempuan, dalam rentang 2012-2021 tercatat sebanyak 2.247.594 kasus kekerasan seksual. Kasus ini sesungguhnya bisa jadi lebih besar dibandingkan dengan yang dilaporkan dan didokumentasikan. Terbatasnya sumber daya dan mekanisme penanganan akhirnya menyebabkan terjadinya darurat kekerasan terhadap perempuan. Karenanya, anak muda dibutuhkan untuk berperan aktif dalam upaya penghapusan kekerasan perempuan.
Terdapat tiga poin penting yang perlu menjadi perhatian kita semua setelah disahkannya UU TPKS, (1) Mengawal pelaksanaan agar kebijakan ini mampu menjawab persoalan pengalaman korban kekerasan seksual yang berbeda di setiap daerah, (2) Diharapkan menjadi kebijakan yang bersifat khusus dan memberikan perlindungan kepada korban. (3) Mengutamakan kepentingan korban kekerasan seksual sebagai masukan yang progresif, seperti perlindungan hak-hak korban, keluarga korban, penyandang disabilitas, dan saksi.
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan Sulawesi Selatan (LBH APIK Sulsel), salah satu organisasi yang memperjuangan kesetaraan perempuan dan laki-laki turut andil dalam memberikan pendampingan Korban kekerasan seksual. Terhitung selama 3 tahun terakhir, organisasi ini menangani kasus kekerasan berbasis gender, kekerasan dalam rumah tangga, hingga kasus lain yang bervariasi. Penanganan terhadap korban kekerasan seksual membutuhkan perhatian dan energi lebih karena mereka kadang tidak bisa membuka diri untuk bercerita dengan situasi yang dialami karena takut ketahuan keluarga (menjaga aib keluarga) bahkan ketika keluarga tidak ingin diproses secara hukum.
Selain tantangan di atas, terdapat pula tantangan khusus untuk penanganan kekerasan seksual, seperti belum adanya regulasi khusus untuk melindungi korban kekerasan seksual kecuali beberapa pasal dalam KUHP, proses hukum pidana yang lama membutuhkan kesiapan mental dan keungan yang besar, kecenderungan menyalahkan korban berakibat pada penanganan hukum tidak maksimal, pembuktian selalu dibebankan pada korban kekerasan seksual, dan kadang kala korban tidak mendapat dukungan dari keluarga.
Di lingkungan kampus, pola kekerasan seksual yang terjadi berawal dari relasi kuasa yang kemudian terbentuk atas dua jenis hubungan, yakni senior-junior dan dosen-mahasiswa. Jika kita menelisik pada kebijakan pemerintah khususnya Kemendikbud, pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi telah diatur dalam Permendikbud No.30 tahun 2021. Dari peraturan tersebut, terdapat tiga elemen kerangka pementaan Permendikbud No.30 diantaranya, lembaga mahasiswa, birokrasi kampus, dan warga kampus.
Meski pencegahan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi telah di atur dalam Permendikbud, nyatanya baik lembaga mahasiswa maupun birokrasi kampus masih menganggap kekerasan seksual sebagai hal yang tabu, dianggap sebagai isu individu sehingga tidak dijadikan prioritas, hingga adanya agenda tuntutan lain dari lembaga mahasiswa biasanya menutupi isu kekerasan seksual. Untuk warga kampus sendiri, masalah yang sering muncul yakni belum tereduksinya angka kasus kekerasan seksual sehingga dengan ini sangat perlu untuk menciptakan iklim yang diharapkan diproduksi oleh sistem perguruan tinggi dan lembaga mahasiswa.
Diskusi
Kasus kekerasan seksual semakin darurat namun tema ini belum menjadi isu yang menarik untuk di bawa. Bagaimana tanggapan Komnas Perempuan menanggapi kondisi seperti ini?
Banyak di masyarakat yang ketika melihat kekerasan seksual sering menganggap bahwa itu bukan kekerasan seksual, namun hanyalah hal yang biasa. Ini dikhawatirkan semakin banyak asumsi-asumsi tersebut, maka semakin tinggi pula kasus kekerasan seksual. Lebih lanjut, masyarakat cenderung menganggap sesuatu itu sebagai hal serius ketika ia baru mengalaminya. Inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa tema kekerasan seksual ini kurang menarik. Olehnya itu, memperbaiki cara pandangan masyarakat bisa menjadi solusi efektif yang ditempuh agar masyarakat menganggap ini sebagai hal yang tidak biasa.
LBH APIK Sulsel merupakan salah satu organisasi yang memperjuangkan kesetaraan perempuan dan laki-laki di wilayah Sulawesi Selatan. Hadirnya organisasi ini tak lain untuk mewujdukan sistem hukum yang adil pada perempuan, salah satunya mengenai kekerasan seksual. Karena misinya, LBH APIK Sulsel telah memberikan sosialisasi pendampingan di beberapa kampus sentra di Kota Makassar. Pertanyaannya, apakah Lembaga ini juga ada di kampus kecil dan bagaimana bentuk sosialisasi pendampingan untuk korban kekerasan seksual di kampus?
LBH APIK Sulses telah sering melakukan sosialisasi di beberapa kampus, salah satunya Unhas yang sering menjadi tempat terjadinya kekerasan seksual. Namun untuk kampus yang relatif terpencil belum. Namun, jika lembaga ini tidak ada dalam kampus tersebut, maka kampus harus membuat ruang rujukan atau jika tidak bisa, bangun koordinasi dengan lembaga layanan terdekat. Biasanya lembaga ini hanya ada di kota-kota sehingga yang di kabupaten perlu ke Kota untuk mendapatkan layanan pendampingan. Namun, jika tidak bisa maka bisa langsung melapor ke pihak yang berwajib.
Closing Statement (UU TPKS Sudah Sah, Apa Selanjutnya?)
Selanjutnya adalah mengenali adanya undang-undang ini, membenahi pengananan dan mekanisme pelonjakan kasus di daerah masing-masing, terlibat dalam kampanye penghapusan kekerasan terhadap perempuan, menjadi sahabat korban kekerasan seksual, berhenti menyalahkan, tidak menunjukkan bahasa yang tidak menghormati korban, dan yang paling utama adalah tidak menjadi pelaku kekerasan seksual.
1 Komentar
Harapan baik menyertai sahnya RUU ini.
BalasHapus