DIALEKTIKA - Maaf Tuhan, Aku Hampir Menyerah




Topik Dialog    : Maaf Tuhan, Aku Hampir Menyerah

Pemantik    : Amiruddin

Moderator    : Rahul TS


    Buku Maaf Tuhan, Aku Hampir Menyerah, karya Alfialghazi merupakan salah satu buku motivasi islami yang diterbitkan oleh Penerbit Sahima pada tahun 2020. Sesuai dengan judulnya, buku ini erat kaitannya dengan nilai-nilai islami khususnya pada sifat tawakkal (berserah diri) atas pemberian Tuhan. Pria yang telah lama bergeliat di dunia kepenulisan tersebut secara tersirat mengajak pembaca untuk berdamai dengan keadaan serta senantiasa mengingat bahwa Tuhan selalu ada untuk hamba-hamba-Nya.

Semula, pemantik menjelaskan isi buku secara garis besar dengan mengajak peserta untuk merenung. Ia mengatakan bahwa terkadang dalam kehidupan sehari-hari kita selalu merasa kurang bahkan selalu membandingkan diri dengan orang lain yang jauh lebih baik dengan kita. Karenanya, pemantik melanjutkan bahwa dialog interaktif hari ini akan banyak menyinggung tentang hal tersebut hingga mengajarkan kita bagaimana cara mensyukuri nikmat Tuhan.

Pemantik memulai dialog dengan memberikan 2 pertanyaan kepada peserta, diantaranya:

  1. Apa yang menyebabkan kita selalu lelah dalam menjalani hidup?

  2. Apa artinya hidup?

Pertanyaan pertama direspon oleh peserta dengan memberikan jawaban yang bervariasi. Ada yang mengatakan terlalu banyak beban, pikiran, dan tidak ada orang yang memberikan semangat. Untuk jawaban pertanyaan kedua, ada peserta yang menjawab hidup adalah derita, hidup adalah perjuangan, hidup adalah suatu proses yang cukup untuk dijalani saja, dan seterusnya. 

Menanggapi jawaban peserta, pemantik setuju dengan pendapat-pendapat yang ada karena jawaban tersebut telah dimuat dalam buku ini. “Semua jawaban teman-teman benar karena buku ini memiliki definisi yang mencakup apa yang telah dikatakan,” ujarnya. Hidup adalah serangkaian perjalanan yang membawa manusia dari suatu titik ke titik yang lain. Diawali dengan kelahiran, diantarai dengan kebahagiaan dan kesedihan, dan diakhiri dengan kematian.

Merujuk pada jawaban peserta yang mengatakan hidup adalah proses yang cukup untuk dijalani, muncul lagi pertanyaan baru yang memberikan pilihan kepada peserta. Apakah kita hanya mengikuti alur hidup layaknya ikan mati yang terbawa arus? Atau hidup perlu melawan arus? Salah seorang peserta menyampaikan pandangannya dengan memberikan jawaban yang relevan dengan apa yang telah dialami. Menurutnya, kita perlu memiliki dua-duanya karena mengikuti alur sama dengan menerima takdir Tuhan.Namun, pada sisi lain kita juga perlu melawan arus yang dalam hal ini bukan berarti menentang takdir Tuhan, tapi merujuk pada semangat untuk bangkit dan menata hidup menjadi lebih baik.

Pertanyaan dan beberapa jawaban di atas membuat suasana dialog mulai berlangsung interaktif. Satu per satu dari mereka mulai membuka diri dengan menceritakan kisahnya yang berkaitan dengan buku yang dibahas. Ada yang bercerita tentang kegagalan, pahitnya kehidupan, percintaan, hingga naifnya pikiran untuk mengakhiri hidup. Setelah berdialog cukup lama, ternyata segala cerita dan keluh kesah yang dirasakan peserta salah satunya disebabkan karena mereka menjadikan kehidupan orang lain sebagai tolak ukur kebahagiannya. Mereka mudah pesimis karena selalu membandingkan hidupnya dengan orang lain yang ‘menurutnya’ jauh lebih bahagia, berkecukupan, dan sebagainya.

Membantu peserta untuk mengubah mindset, Amir sebagai pemantik kemudian memberikan sebuah pertanyaan agar peserta tidak menjadikan kebahagiaan orang lain sebagai alasan untuk menyerah. “Apakah kalian yakin bahwa orang yang kalian bandingkan akan kembali ke Tuhan? Jika ya, mengapa kalian mau membandingkan diri dengan orang yang jelas-jelas sama dengan kita yang akan kembali ke Tuhan. Lagipula, kalian tidak tahu bagaimana perjuangan orang yang kalian bandingkan tersebut. Bisa saja mereka juga sama dengan kalian tapi dia memilih untuk menjadikannya sebagai motivasi untuk bangkit”

    Pernyataan dan segala pertanyaan di atas pada hakikatnya mengajarkan kita untuk bersyukur karena bisa jadi kelebihan kita adalah kekurangan orang lain, begitupun sebaliknya. Jalan hidup kita memang berbeda, namun kembali lagi derajat kita tetap sama di mata Tuhan. Menyerah adalah kata haram bagi pejuang, namun menyerah perlu bagi pesimis. Artinya, menyerah bukan berarti ‘mutlak’ membawa kita ke titik terendah, tapi kadang kala menyerah perlu untuk menyadarkan diri tentanghal apa saja yang belum kita syukuri. Sebaliknya, ketika Tuhan tidak menciptakan menyerah, maka setiap manusia akan lupa diri dengan nikmat Tuhan.

Kembali, peserta bertanya kepada pemantik dengan memberikan 6 pertanyaan sekaligus, berikut rangkumannya:

  1. Bagaimana pandangan nonis yang membaca buku ini? Sebagaimana diketahui buku ini bergenre islami dengan beberapa ayat Al-Qur’an yang disuguhkan di dalamnya.

Jawaban pemantik dan tambahan dari peserta lain:

Untuk mengatakan bagaimana pandangan nonis tentu kita tidak tahu karena kita tidak berada pada posisinya. Namun satu hal yang ingin saya sampaikan bahwa buku ini memang bergenre islam namun isi-isinya berhubungan dengan kehidupan sehari-hari seluruh umat manusia. Lagipula, setiap agama tentu mengajarkan kebaikan, keikhlasan, dan semangat bangkit dalam hidup kepada pemeluknya. Jadi, adanya ayat Al-Qur’an yang terdapat dalam buku tidak menganggu pembaca dalam memetik hikmah di dalamnya.

  1. Apakah bersyukur harus ditempatkan pada porsinya? Atau kita perlu bersyukur dalam segala hal?

Jawaban pemantik:

Sudah jelas, kita harus mensyukuri segala sesuatunya dalam hidup, dimanapun, kapanpun, dan pada situasi apapun kita berada.

  1. Dimana batas menyerah dan hampir menyerah dalam buku?

Jawaban pemantik:

Banyak sekali kisah penulis yang dituangkan dalam buku, salah satunya pada Bab 2, yakni hampir menyerah ketika membandingkan diri dengan orang lain. Adapun menyerah adalah ketika kita benar-benar tidak sanggup melihat kebahagiaan orang lain.

  1. Apakah mutlak tolak ukur kebahagiaan setiap orang adalah ketika membandingkan dirinya dengan orang lain?

Jawaban pemantik:

Tidak. Mengapa kita membahas soal perbandingan hidup dengan orang lain? Karena sebagian besar isi buku membahas tentang itu. Buku ini tidak mengajarkan kita untuk menyerah setelah membandingkan diri dengan orang lain, namun sebaliknya buku ini justru mengajak kita untuk menjadikan kebahagiaan orang lain sebagai motivasi dan semangat bangkit dari keterpurukan.

  1. Bagaimana cara bersukur yang baik dan benar?

Jawaban pemantik:

Selalu melibatkan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari karena dengan selalu mengingat Tuhan maka kita akan mampu merasakan dan mengukur betapa banyak nikmat yang telah diberikan-Nya.

  1. Apakah insecure itu baik atau tidak? Dan bagaimana cara mengatur insecure dengan baik?

Jawaban pemantik:

Insecure itu baik, bukan karena dia membawa kita pada keadaan terendah, namun memacu kita untuk lebih bersemangat. Adapun cara mengatur insecure adalah menempatkan sesuai porsinya. Kita perlu insecure ketika berhadapan dengan orang baik akhlaknya karena insecure dapat dijadikan sebagai bahan refleksi. Namun kita tidak perlu insecure ketika berhadapan dengan orang lebih berkecukupan, cantik atau ganteng fisik daripada kita karena kembali lagi kedudukan kita sama di mata Tuhan.

    Segala pertanyaan di atas rasanya telah menggambarkan bagaimana interaktifnya dialog yang berlangsung. Semua peserta berperan aktif dalam menyampaikan pandangannya hingga akhirnya banyak dari mereka yang mulai sadar dan mengerti akan arti sebuah kesyukuran.

    Mengakhiri dialog, pemantik memberikan closing statement-nya kepada para peserta:

“Sesehat apa pun tubuh kita hari ini. Sekaya apa pun kita saat ini. Sebahagia apa pun kita di dunia ini. Kita tetap berjalan menuju kematian. Terlena bukan pilihan bagi orang-orang yang menginginkan surga sebagai akhir pencariannya. Karena sejatinya, kita semua sedang berada di ruang tunggu, menanti-nanti giliran datang. Siapa yang tahu ternyata esok adalah hari terakhir kesempatan kita hidup di dunia ini.” 


Notulen : Miftahul Janna


1 Komentar